Minggu, 25 Maret 2018

Kredit Pendidikan untuk Kuliah, Perlu atau Tidak?

Jakarta - Pemerintah mempertimbangkan untuk menyelenggarakan kembali skema pinjaman pendidikan (student loan) untuk membantu mahasiswa-mahasiswi dalam melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Ide ini sebenarnya bukan ide baru, telah diaplikasikan di berbagai negara maju. Indonesia sendiri pada tahun 1980-an telah melaksanakan skema seperti ini, namun terhenti karena banyaknya pinjaman yang tidak terlunasi dan regulasi yang kurang mumpuni.

Pertanyaan yang bisa dimunculkan adalah apakah skema pendidikan tersebut layak untuk diaktifkan kembali? Tulisan ini mencoba memberi perspektif dari sudut pandang ketimpangan di pasar tenaga kerja.

Argumen utama yang muncul dari perlunya pemberian pinjaman pendidikan adalah untuk membuka kesempatan lebih luas bagi calon mahasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Ide ini perlu dikritisi karena memunculkan pertanyaan berikutnya, yakni apa betul lulusan perguruan tinggi mendapat pendapatan lebih baik dari yang bukan lulusan perguruan tinggi?

Badan Pusat Statistik melalui publikasi Statistik Upah berdasarkan Hasil Sakernas 2016 mencatat adanya perbedaan upah yang besar pada pekerja di Indonesia berdasarkan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Pekerja yang tidak/belum sekolah rata-rata mendapat upah Rp 930 ribu per bulan. Pekerja yang tamat SD rata-rata mendapat upah Rp 1,2 juta per bulan. Pekerja tamatan SMP rata-rata mendapat upah Rp 1,5 juta per bulan, sementara yang lulus SMA menerima rata-rata Rp 2,1 juta per bulan. Terakhir, pekerja lulusan universitas mendapat upah rata-rata Rp 3,6 juta per bulan.

Data tersebut menunjukkan informasi awal adanya hubungan positif antara pendidikan dan upah, yakni semakin tinggi pendidikan yang ditempuh akan memberi upah semakin besar bagi seseorang. Namun demikian, perlu juga dipertimbangkan bias yang muncul dari adanya hasil tersebut. Tingginya upah yang diterima pekerja lulusan perguruan tinggi bisa jadi bukan ditentukan semata oleh gelar yang ia dapatkan, namun faktor-faktor lain seperti kondisi keluarga lebih baik, kesehatan lebih baik, dan pengetahuan lebih luas.

Berkaitan dengan kondisi keluarga, bisa jadi lulusan perguruan tinggi memang biasanya berasal dari keluarga yang memiliki kemampuan finansial tinggi, berasal dari keluarga kecil (sehingga sumber daya banyak terpusat pada si anak), dan tinggal rumah yang sehat (dalam artian tidak padat, cukup cahaya, dan berada di lingkungan yang baik). Atau, bisa juga lulusan perguruan tinggi memang biasanya berasal dari keluarga kelas menengah atas yang notabene memiliki koneksi lebih luas sehingga memiliki lebih banyak informasi peluang kerja. Atau, mungkin saja karena lulusan perguruan tinggi punya kebiasaan sarapan (karena orangtuanya berpendidikan tinggi sehingga menyadari arti penting sarapan, dan, tentu saja punya uang untuk menyediakan sarapan), sehingga tidak gampang lemas di kantor dan tidak gampang sakit.

Perbedaan kondisi awal yang dimiliki dua orang pekerja berpotensi akan menghasilkan perbedaan prestasi, bahkan setelah keduanya diberi intervensi pendidikan yang sama. Gambarannya seperti ini: jika ada dua orang yang sama-sama lulus dari perguruan tinggi yang sama, dengan bidang studi dan prestasi akademik yang sama namun orang A lebih beruntung dalam hal finansial dibanding orang B. Perbedaan finansial tersebut membuat orang A memiliki tingkat pengetahuan lebih luas, pengalaman hidup lebih banyak, daya tahan tubuh lebih baik, serta koneksi lebih luas. Maka dapat diambil kesimpulan sederhana, ekspektasi penghasilan orang A akan lebih tinggi dibanding orang B. Bahasa kerennya: meski keduanya mendapat intervensi pendidikan yang sama, namun posisi berangkat (starting position) mereka tidak sama.

Perbedaan dalam posisi berangkat mereka disebabkan oleh adanya kesenjangan atau perbedaan yang terjadi di masyarakat. Bahasa lugasnya adalah adanya perbedaan antara kaya dan miskin. Keluarga kaya akan memiliki penghasilan dan aset lebih banyak sehingga mereka bisa memberi lebih banyak peluang dan fasilitas bagi anak-anak mereka. Keluarga kaya memiliki rumah yang tidak terlalu sempit untuk dihuni, sehingga penghuninya nyaman dan tidak sakit-sakitan. Keluarga kaya akan senantiasa memiliki uang untuk mendukung anak-anak mereka untuk piknik atau pergi merantau, sehingga sang anak punya banyak pengalaman hidup.

Memang, kaya dan miskin akan selalu ada dalam kehidupan ini. Namun, kondisi di mana banyak orang terlalu kaya dan lebih banyak orang yang terlalu miskin yang akan membuat negara bertambah susah. Kondisi ketimpangan tersebut akan memicu lebih banyak faktor pembias dalam perhitungan upah tenaga kerja, sehingga peran perguruan tinggi dalam menjamin penghidupan lebih baik bagi lulusannya mungkin saja berupa realita yang semu.Butuh penelitian yang lebih dalam mengenai peran perguruan tinggi dalam menjamin upah tinggi bagi lulusannya. Sehingga akan muncul hasil yang membawa kita ke kesimpulan untuk perlu atau tidaknya memperluas akses ke perguruan tinggi. Hendaknya wacana pinjaman pendidikan yang digodok pemerintah juga mempertimbangkan hal-hal tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar